Monday, April 15, 2019

Bangunan Peninggalan Belanda di Tangerang


Penjajahan Belanda di Indonesia yang telah berlangsung hingga ratusan tahun lamanya tentu meninggalkan bukti-bukti sejarah yang tidak sedikit. Hampir semua kota di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial Belanda bahkan tidak sedikit pula yang didirikan pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Kota-kota tersebut hingga kini masih menyimpan peninggalan dari “negeri kincir angin” tersebut, walaupun tidak sedikit pula yang hilang karena perkembangan zaman. Peninggalan Belanda yang tersisa tersebut umumnya berupa bangunan-bangunan yang hingga saat ini masih tetap digunakan untuk berbagai kepentingan.
Tangerang sebagai sebuah kota yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda berkuasa ternyata menyimpan beberapa peninggalan berupa bangunan yang masih dapat disaksikan hingga kini. Bangunan-bangunan tersebut menjadi saksi berkuasanya Pemerintah Kolonial Belanda di wilayah Tangerang.
Berikut ini bangunan peninggalan Belanda yang terdapat di Tangerang:

1. Bendung Pasar Baru/Pintu Air 10
Sebagai negara yang terkenal ahli dalam pengendalian air dengan bendungan/dam yang dibuat, Belanda ternyata menerapkan hal serupa di negeri jajahannya di Indonesia termasuk di Tangerang. Wilayah Tangerang yang dilalui oleh Sungai Cisadane dianggap cocok oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk membuat bendungan yang fungsinya sebagai irigasi untuk mengairi sawah di wilayah Tangerang bagian utara. Bendungan Pasar Baru/Pintu Air 10 didirikan pada tahun 1927, dimana pendirian bendungan tersebut tidak terlepas dari kebijakan Politik Etis yang diterapkan oleh Belanda saat itu. Kini  Bendungan Pasar Baru/Pintu Air 10 tidak hanya berfungsi sebagai irigasi semata tetapi juga sudah menjadi tempat wisata dan juga ikon dari Kota Tangerang. Pemerintah Kota Tangerang telah menetapkan Bendungan Pasar Baru/Pintu Air 10 sebagai cagar budaya di wilayah tersebut.
Bendungan Pintu Air 10
2. Stasiun Tangerang
Stasiun Kereta Api Tangerang terletak di pusat Kota Tangerang tepatnya di Jalan Ki Asnawi, di sekitar Pasar Anyar tidak jauh dari Masjid Agung Tangerang. Stasiun ini ada bersamaan dengan adanya lintas jalur kereta api Duri-Tangerang, yaitu pada tahun 1889. Arsitek bangunan stasiun dan lintasannya dari Staatspoorwagen (SS) atau Perusahaan Kereta Api Pemerintah Hindia-Belanda dan Stasiun Tangerang merupakan stasiun akhir dari lintasan tersebut karena tidak ada lanjutan lintasan. Stasiun Tangerang sebagai bangunan peninggalan Belanda telah dilindungi sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Tangerang dan juga oleh pusat pelestarian Benda dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

3. Stasiun Cisauk
Stasiun Cisauk yang dibangun pada tahun 1899 merupakan stasiun kereta api yang berada di wilayah selatan Kabupaten Tangerang tepatnya di Kecamatan Cisauk. Yang didirikan pada masa kolonial Belanda. Model dan karakteristik bangunan Stasiun Cisauk dapat ditemukan pula pada bangunan stasiun lainnya. Stasiun Cisauk diresmikan bersamaan dengan peresmian lintas Duri-Rangkasbitung sepanjang 76 km oleh Perusahaan Kereta Api Negara Staatspoorwegen (SS) pada tanggal 1 Oktober 1899. Kini bangunan Stasiun Cisauk telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pusat pelestarian Benda dan Bangunan PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

4. Lembaga Pemasyarakatan Anak pria Tangerang
Lapas anak pria Tangerang terletak di jalan Daan Mogot tidak jauh dari Masjid Al-Azhom dan Taman Makam Pahlawan Taruna. Bangunan ini dibangun pada masa Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1925 dan difungsikan sebagai penjara. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan fungsi dari Lapas berubah menjadi Markas Resimen IV Tangerang yang terjadi pada tahun 1945. Pada tahun 1957 – 1961, pengelolaan berganti kepada Jawatan Kepenjaraan, yang kemudian berubah menjadi pendidikan negara. Di tahun 1964, pengelolaan bangunan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Permasyarakatan dengan nama Lembaga Permasyarakatan Anak Pria.
LP Anak Pria Tangerang
5. Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Pemuda
Lapas di Jalan LPK Pemuda, Kelurahan Pabuaran, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang. Lapas Pemuda dibangun pada tahun 1924 dan  baru rampung pada tahun 1927. Lapas yang dibangun pada masa kolonial Hindia-Belanda itu awalnya sudah difungsikan untuk memenjarakan pemuda Belanda dan pribumi.
Pada masa Pendudukan Jepang tahun 1942-1945, Jepang menggunakannya untuk tempat pelaksanaan pidana dengan sebutan “Keismusho Shikubu”. Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan masuknya Belanda kembali ke Indonesia maka pada tahun 1946- 1948 oleh pemerintah Belanda (Palang Merah NICA) tempat ini digunakan sebagai tempat penampungan Pengungsi Cina pedalaman dan juga orang-orang Yahudi yang saat itu tinggal di Indonesia.
Bangunan yang memiliki luas mencapai 28.610 meter persegi ini masih menyimpan ciri bangunan kolonial. Salah satunya dapat dilihat dari bentuk jendela  kayu  dengan jeruji besi yang besar dan tinggi yang sangat mencirikan identitas bangunan kolonial. Kini bangunan tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Tangerang.

6. Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita tangerang
Lembaga Permasyarakatan Anak Wanita terletak di Jalan Daan Mogot Kelurahan Tanah Tinggi, Kota Tangerang. Menurut informasi di papan nama cagar budaya dijelaskan bahwa bangunan ini didirikan pada Tahun 1928 oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk pengasingan anak-anak Indo Belanda yang melakukan kenakalan/pelanggaran kemudian setelahnya dikelola oleh Yayasan LOG dan selanjutnya pada tahun 1934 diserahkan kepada Yayasan Pro Juventute. Pasca meyerahnya Belanda kepada Jepang pada tahun 1942 bangunan ini selanjutnya digunakan sebagai rumah tahanan perang terutama bagi anak-anak dan wanita Belanda yang akan dikembalikan ke Negara Belanda.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada pemerintahan Indonesia di bawah Departemen Kehakiman RI sebagai Rumah Pendidikan Negara. Perubahan nama menjadi LAPAS Anak Wanita Tangerang dilakukan pada tahun 1964.
LP Anak Wanita Tangerang
7. Rumah Telepon
Bangunan ini terletak di Jalan Daan Mogot tepat di depan Plaza Robinson, bangunan peninggalan Belanda ini termasuk unik karena memiliki atap kerucut dan merupakan salah satu yang tersisa di Tangerang. Kini bangunan tersebut sudah tidak difungsikan kembali namun masih tetap dipertahankan keberadaannya.
Rumah Telepon di Jalan Daan Mogot
8. Bangunan Belanda di Mauk
Mauk merupakan salah satu kecamatan yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, dahulu Mauk merupakan ibukota Distrik Tangerang Utara yang termasuk ke dalam Afdeling Tangerang. Oleh sebab itulah di Mauk hingga kini masih ditemukan beberapa bangunan peninggalan Belanda. Kantor Pegadaian Mauk merupakan salah satunya dimana bangunan tersebut konon pernah digunakan sebagai tempat menyimpan Otto Iskandar Dinata sebelum akhirnya dieksekusi di Pantai Ketapang, Tanjung Kait. Seiring perkembangan zaman bangunan tersebut kini telah mengalami renovasi.
Kantor Pegadaian Mauk
9. Rumah Peninggalan Belanda
Deretan rumah-rumah peninggalan Belanda ini tersebar di sekitar Jalan Daan Mogot dan Jalan TMP Taruna. Hingga kini rumah-rumah tersebut masih tetap terpelihara dengan baik.

Bangunan-bangunan tersebut menjadi saksi bagaimana pengaruh Belanda masih tersisa di Tangerang, meskipun zaman telah berganti namun pengaruh yang dirasakan dari kehadiran peninggalan Belanda tersebut oleh masyarakat Tangerang hingga kini masih tetap ada

Sunday, April 7, 2019

Sejarah Tangerang dari Masa ke Masa


Tangerang di Masa Awal Berdiri
Setiap daerah pasti memiliki cerita sejarahnya tersendiri dan itu merupakan suatu keunikan yang tentunya tidak akan ditemukan di tempat manapun. Sebagai sebuah daerah yang telah lama berdiri, Tangerang tentunya memiliki sejarah panjang yang patut untuk digali keberadaannya. Secara geografis, Tangerang terletak di sebelah barat Ibukota Jakarta sehingga hubungan yang terjalin diantara keduanya sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Indonesia, bahkan Suku Betawi saat ini banyak yang mendiami wilayah Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Di bagian selatan berbatasan dengan Bogor yang dahulu merupakan bagian dari Kerajaan  Pajajaran sehingga secara kultur masyarakat di Tangerang bagian selatan sehari-hari menggunakan Bahasa Sunda. Kemudian di bagian baratnya berbatasan dengan wilayah Serang yang menjadi pusat dari Kesultanan Banten sehingga di beberapa wilayah seperti Kresek dan Kronjo, masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-harinya sama seperti yang digunakan oleh masyarakat di pusat Kesultanan Banten yang kini dikenal dengan nama Banten Lama. Bahkan di Kronjo terdapat sebuah pulau yaitu Pulau Cangkir yang menjadi makam dari salah satu keturunan Kesultanan Banten yang oleh masyarakat disebut sebagai makam Pangeran Penjaga Lautan, makam tersebut oleh masyarakat dari berbagai macam daerah selalu diziarahi. Di bagian utaranya berbatasan langsung dengan Laut Jawa sehingga di masa lalu Tangerang dikenal pula sebagai kota perdagangan karena letaknya yang berada di pesisir pantai, hal ini dibuktikan dari catatan perjalanan seorang penjelajah Portugis yaitu Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental yang menyebutkan kata “Tangaram” yang diartikan sebagai Tangerang.
Dalam berbagai sumber sejarah yang ada, kata Tangerang berasal dari Tengger dan Perang, kata Tengger diartikan sebagai tanda wilayah sedangkan Perang merujuk kepada wilayah Tangerang yang pernah menjadi medan pertempuran antara Kesultanan Banten dan VOC. Tangerang disebutkan pula berasal dari kata Benteng yang konon kabarnya didasarkan atas berdirinya sebuah banteng VOC yang berdiri di tepian sungai Cisadane, yang lokasinya diperkirakan berada di Plaza Robinson sekarang. Berdirinya Tangerang tidak dapat dipisahkan dari munculnya dibentuk oleh tiga pimpinan saat itu yang berasal dari Sumedang, ketiganya yaitu Arya Yudhanegara, Arya Wangsakara dan Arya Santika. Mereka mendirikan pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga pimpinan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga pimpinan tersebut berjuang melawan VOC dengan batas wilayah yaitu Sungai Cisadane, untuk mendukung perjuangan tersebut maka dibuatlah peralatan persenjataan yang terletak di wilayah Cadas, Sepatan. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga pimpinan tersebut berturut-turut gugur satu persatu. Arya Wangsakara selanjutnya dimakamkan wilayah Lengkong Kulon, Pagedangan dan Arya Yudanegara dimakamkan di Sangiang serta Arya Santika dimakamkan di Batuceper.

Tangerang di Masa kekuasaan VOC dan Belanda
Pasca dikuasainya Kesultanan Banten oleh VOC, Tangerang yang terletak di sebelah timur Kesultanan Banten juga ikut dikuasai oleh VOC. Sejak tahun 1682 pemerintahan di Tangerang berbentuk Regentschap yang dipimpin oleh seorang Bupati dari kalangan pribumi. Pada masa VOC ini teradapat beberapa nama kampung yang sudah teridentifikasi diantaranya  ialah Batoechepper (Batuceper) yang terletak di sebelah timur Tangerang dimana wilayah ini dalam perkembangan selanjutnya pernah menjadi tanah partikulir milik Tan Liok Tiauw Sia, seorang Landheer van Batoe Tjepper dan juga seorang pengusaha genteng, itulah sebabnya di wilayah Batuceper dan sekitarnya hingga saat ini terdapat nama daerah dan jalan dari kata “Lio” yang berarti tempat pembakaran genteng.
Dalam perkembangan selanjutnya pasca runtuhnya VOC, Tangerang dikuasai langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang berpusat di Batavia. Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengubah sistem pemerintahan di Hindia Belanda, wilayah Tangerang saat itu secara administratif berada dalam pemerintahan de stad Batavia de Ommelanden en Jacatrasche Preanger Regentschappen atau Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta Priangan yang selanjutnya disebut Keresidenan Batavia. Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah pimpinan seorang Asisten Residen yang berasal dari orang Eropa.
Pada tahun 1860-an Pemerintah Hindia Belanda memperke­nalkan sebutan Afdeling untuk wilayah administratif di bawah keresidenan. Dalam hal ini, Tangerang menjadi salah satu af­deling di wilayah Keresidenan Jakarta. Hal itu berarti kota Tangerang memiliki kedudukan administratif rangkap, yaitu sebagai ibukota afdeling dan merangkap sebagai ibukota distrik. Di Keresidenan Batavia sendiri terdapat empat afdeling, yaitu Afdeling Kota dan Sekitarnya yang memiliki tujuh, Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara) yang memiliki empat distrik, Afdeling Tangerang yang memiliki tiga distrik, dan Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang memiliki enam distrik.
Wilayah Afdeling Tangerang terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik Tangerang Timur yang meliputi 208 desa, Distrik Tangerang Selatan yang meliputi 199 desa, dan Distrik Tangerang Utara yang meliputi 133 desa. Data statistik tahun 1867 menyatakan Afdeling Tangerang memiliki luas wilayah lebih-kurang seperlima dari luas wilayah Keresidenan Batavia. Sejak tahun 1880-an masing-masing distrik tersebut disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk selanjutnya terdapat penambahan distrik yaitu Distrik Curug. Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut Demang yang selanjutnya berubah menjadi Wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan tersebut berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1942.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula nama kampong yang tercatat diantaranya: Kresek (kpg.), Teloeknaga (o.d.), Mawoek dan nama kampong lainnya adalah Krawatji. Selain itu menurut Dr. Hollander dalam bukunya disebutkan mengenai Afdeling Tangerang Afdeeling TangĂ«rang : TangĂ«rang, de hoofdplaats der Afd. Aan den Grooten weg en de rivier Tji-Dani yang jika diartikan ialah Afdeling Tangerang merupakan ibukota afdeling yang terletak di Jalan Besar (Jalan Raya Pos) dan juga Sungai Cisadane. 

Tangerang pada masa Pendudukan Jepang
Pasca menyerahnya Belanda kepada Jepang yang menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya maka dibentuklah struktur pemerintahan yang berbeda pada masa Hindia-Belanda. Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk mem­bentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai Gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan Gunseibu.
Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Seiring dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer.
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Ma­dura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco (bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco (kepala desa).
Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,
kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas. Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka diper­makloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.
Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama R. Atik Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda, Ia juga pernah menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.


Para Perwira alumni Akmil & Akpol yang gugur di Poso

Wilayah Poso hingga saat ini masih menjadi daerah operasi yang dilakukan oleh Pasukan TNI/POLRI dalam mengejar sisa pengikut dari gerakan M...