Oleh:
M. Alfian Nugraha Fauzi
“Nenek moyangku seorang
pelaut, gemar mengarung luas samudera menerjang ombak tiada takut menempuh
badai sudah biasa”
Penggalan lirik lagu tersebut mungkin tidak asing bagi
kita, lirik yang menggambarkan betapa hebatnya nenek moyang bangsa Indonesia
yang sejak dahulu dikenal sebagai bangsa penjelajah dan berhasil mengarungi
samudera. Patut diakui sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri
dari belasan ribu pulau serta memiliki lautan yang luas, Indonesia sudah
sepatutnya memfokuskan diri dalam bidang kemaritiman. Namun kata “Maritim”
seolah tenggelam dibawah bayang-bayang kata “Agraris” yang terlanjur melekat di
ingatan banyak orang di Indonesia. Arti kata “Maritim” sendiri berdasarkan
kamus besar bahasa Indonesia yaitu berkenaan dengan laut, berhubungan dengan
pelayaran dan perdagangan di laut. Merujuk kepada arti kata maritim tersebut maka tidak dapat
dipungkiri semua aktifitas pelayaran dan perdagangan di laut pada masa lalu
pernah dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia, meskipun di zaman sekarang
arti kata maritim tidak lagi merujuk kepada arti sesungguhnya yang selalu
berkaitan dengan aktifitas perdagangan di laut.
Sejarah
panjang Kemaritiman Indonesia masa pra-sejarah hingga Indonesia merdeka
Berbicara sejarah kemaritiman di Indonesia pada masa lalu,
bangsa Indonesia memang telah dikenal sebagai bangsa yang aktif dalam bidang
pelayaran dan penjelajahan samudera. Jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu-Budha dan Islam, nenek moyang bangsa Indonesia telah berhasil
menjelajahi samudera salah satunya berhasil mencapai pulau Madagaskar. Sebagian
masyarakat Madagaskar diyakini memiliki darah Indonesia, bahkan Murray Cox seorang ilmuwan dari Massey University dalam jurnal yang
berjudul Proceedings of the Royal Society B mengungkapkan bahwa orang
Indonesia adalah nenek moyang bangsa Madagaskar. Hal ini menunjukkan bahwa
penjelajahan yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia saat itu telah
berhasil menciptakan satu keturunan baru yang hingga kini menjadi bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Madagaskar.
Selanjutnya pada masa berkembangnya kerajaan Hindu-Budha
di Indonesia, kerajaan-kerajaan tersebut melakukan berbagai aktifitas salah
satunya dalam bidang perdagangan yang menggunakan laut sebagai jalur utama
dalam perdagangan tersebut. Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan yang terkenal
dalam bidang maritim karena perdagangan yang dilakukan oleh kerajaan ini
menggunakan laut sebagai jalur utamanya selain tentunya kerajaan ini memiliki pula
wilayah yang luas hingga mencapai daratan Semenanjung Malaka serta memiliki armada
laut yang kuat. Selain itu kejayaan bangsa Indonesia dalam bidang maritim dibuktikan
pula pada masa kerajaan Mataram Kuno yaitu pada relief Candi Borobudur dimana terdapat
gambar kapal bercadik yang menandakan bahwa kerajaan tersebut fokus pula dalam
bidang maritim. Majapahit menjadi kerajaan selanjutnya yang aktif dalam
kegiatan perdagangan laut dan dikenal secara luas karena berhasil menguasai
hampir sebagian besar wilayah nusantara hingga ke Filipina, Semenanjung Malaka
dan selatan Vietnam dengan armada lautnya. Laksamana Nala adalah salah satu
laksamana yang berperan dalam penyebarluasan wilayah kerajaan Majapahit bersama
dengan Mahapatih Gajah Mada.
Pada masa berkembangnya kerajaan Islam di Indonesia, muncul
pula satu kerajaan yaitu Demak yang berkonsentrasi dalam bidang maritim, bahkan
kerajaan ini memiliki armada laut yang kuat dan menguasai lautan di wilayah
nusantara. Bangsa Portugis yang menguasai kota Malaka saat itu pernah
mendapatkan serangan dari kerajaan Demak yang dipimpin oleh Pati Unus yang
dijuluki “Pangeran Seberang Lor” dengan
menggunakan hampir seratus perahu. Kekuatan armada laut kerajaan Demak diakui
oleh Portugis yang juga dikenal sebagai bangsa penjelajah sebagai salah satu
kekuatan terkuat pada masa itu. Kerajaan Makassar atau Gowa-Tallo dikenal pula
sebagai kerajaan yang fokus dalam bidang maritim bahkan kerajaan ini selalu
melakukan penjelajahan ke wilayah-wilayah lain di luar Sulawesi, bahkan di
wilayah Timor Leste yaitu enclave Ambeno terdapat nama kota dengan nama Pante Makassar yang menunjukkan bahwa
wilayah ini pernah disinggahi oleh pelaut-pelaut Makassar. Begitupun kerajaan
Aceh yang tak hanya memiliki armada laut yang terkenal namun juga memiliki
seorang Laksamana wanita yaitu Laksamana Malahayati yang kini namanya
diabadikan menjadi nama salah satu kapal perang Republik Indonesia. Dapat
dikatakan pada masa kerajaan hindu-budha dan islam, dunia kemaritiman di
Indonesia mengalami masa kejayaan.
Kejayaan kemaritiman di Indonesia mengalami perubahan
pada masa kekuasaan bangsa barat di Indonesia terutama sejak kedatangan bangsa
Belanda. Kongsi dagang Belanda yaitu Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) ketika dibentuk mulai melakukan monopoli
perdagangan di berbagai wilayah di Indonesia yang secara tidak langsung
mengurangi eksistensi para pelaut Indonesia di dunia kemaritiman. Saat VOC
runtuh hak monopoli diambil alih oleh perusahaan Belanda yaitu Koninklijke Paketvaart Maatschappij
(KPM) yang sekali lagi tetap mengurangi eksistensi para pelaut Indonesia. Pada
dekade terakhir abad XIX, Belanda membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia
dalam bidang pendidikan khususnya bidang bahari. Ketika masa penjajahan Belanda
berakhir di Indonesia karena kekalahan tanpa syarat atas Jepang, bangsa
Indonesia hanya dijadikan pegawai rendahan diantaranya menjadi awak kapal KPM
dan Koninklijke Marine (KM) dengan
pangkat bintara.
Kemaritiman
di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Masa Orde Baru
Pada saat Indonesia memproklamirkan diri sebagai Negara
yang merdeka pada tahun 1945, Belanda sebagai “bekas” penjajah tampaknya masih
belum puas dan ingin kembali menguasai Indonesia dan bercokol lama lagi di bumi
nusantara. Salah satu upaya yang dilakukan demi memperlancar kehadiran kembali
Belanda di Indonesia ialah dengan menghentikan berbagai aktifitas yang
berkaitan dengan dunia kemaritiman baik itu yang berkaitan dengan aktifitas di
pelabuhan maupun pelayaran. Tak bisa dipungkiri aktifitas tersebut menjadi
salah satu faktor penting dalam mendukung perjuangan menghadapi Belanda salah
satunya ialah pengiriman para pejuang ke berbagai wilayah di Indonesia guna
mendukung perjuangan dalam menghadapi Belanda di wilayah Kalimantan, Sumatera,
Bali dan lain-lain.
Selanjutnya pada saat Belanda melakukan “Blokade” terhadap
wilayah perairan di Indonesia pada tahun 1947 dan 1948 dengan tujuan untuk
melemahkan posisi Indonesia, para pejuang yang berasal dari Angkatan Laut
Republik Indonesia berhasil menerobos blokade tersebut. Salah satu pejuang itu
ialah Mayor John Lie yang berasal dari Manado dan beretnis Tionghoa, ia
berhasil menerobos blokade Belanda untuk kemudian menuju Singapura dan Malaya
dengan kapalnya yang dinamakan Outlaw
guna melakukan pertukaran barang untuk keperluan perjuangan saat itu. Hal ini
menunjukkan bahwa aktifitas kemaritiman pada masa perang kemerdekaan sangat
berperan besar dalam membantu perjuangan bangsa ketika itu dan Belanda
menyadari hal tersebut hingga salah satu cara untuk menghentikan aktifitas
tersebut yaitu dengan melakukan pemboman terhadap pelabuhan-pelabuhan yang
dikuasai pejuang dan melakukan patroli di perairan untuk mengantisipasi
pengiriman para pejuang ke luar pulau Jawa.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949, Indonesia
sekitar tahun 1950 memasuki satu masa yang dinamakan masa Demokrasi Liberal tepatnya
saat Indonesia yang awalnya bernama RIS kembali lagi menjadi NKRI. Pada masa
Demokrasi Liberal beberapa kabinet pernah memerintah sejak tahun 1950-1959
salah satunya ialah Kabinet Djuanda yang dipimpin oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja.
Kabinet ini memiliki peranan penting dalam sejarah kemaritiman di Indonesia
karena pada tahun 1957 dicetuskan “Deklarasi
Djuanda” yang menyatakan kepada dunia bahwa laut di Indonesia termasuk laut
sekitar diantara dan di dalam kepualauan Indonesia menjadi satu kesatuan
wilayah Republik Indonesia. Deklarasi ini kemudian diperjuangkan di forum
internasional melalui United Nations Convention
On the Law of The Sea (UNCLOS)1958. Deklarasi Djuanda berdampak besar
terhadap Indonesia terutama mengenai luas wilayah laut Indonesia yang bertambah
beberapa kali lipat dari sebelumnya dan deklarasi ini selanjutnya disahkan
menjadi Undang-Undang No. 4/PRP/1960
tentang Perairan Indonesia.
Pada tahun 1963 diadakan Munas Maritim oleh Presiden
Sukarno, Presiden mengatakan dalam munas tersebut bahwa “Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali
menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu”. Implementasi dari perkataan
Presiden tersebut kemudian dilakukan dengan menunjuk Ali Sadikin sebagai
Menteri Koordinator Maritim dalam Kabinet Dwikora I. Hal ini disadari betul
oleh Sukarno mengingat betapa pentingnya dunia maritim bagi perjalanan bangsa
Indonesia dan bangsa ini bisa dikenal oleh dunia pada masa lalu karena faktor
tersebut. Selanjutnya di era Presiden Sukarno terdapat pula Menteri
Perindustrian Maritim yang dipimpin oleh Mardanus sebagai Menteri di Kabinet
Dwikora II, bidang kementerian ini ialah bergerak dalam pembuatan dan perbaikan
kapal serta pembuatan alat-alat terapung. Sukarno memang menaruh perhatian yang
lebih terhadap dunia kemaritiman di Indonesia, itulah sebabnya dalam kabinetnya
dibentuk Kementerian Maritim dan Kementerian Perindustrian Maritim.
Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, perjalanan panjang
dunia kemaritiman di Indonesia berubah karena fokus perhatian pemerintah saat
itu ialah beralih ke daratan setelah sebelumnya berfokus dalam bidang maritim. Kebijakan
yang dijalankan oleh Presiden Suharto
ialah meningkatkan pembangunan di segala bidang, oleh sebab itu pemerintah saat
itu menggulirkan program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kebijakan
pemerintah dalam meningkatkan pertanian kemudian direncanakan dalam Repelita I
tahun 1969-1974 sehingga dampak yang dirasakan saat itu ialah Indonesia dikenal
sebagai Negara agraris bahkan Indonesia berhasil meraih swasembada pangan tahun
1980-an, Presiden Suharto sendiri kemudian diberikan penghargaan oleh badan PBB
yang mengurus masalah pangan yaitu FAO tahun 1984 karena keberhasilannya
tersebut.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada masa Orde Baru
saat itu tidak menyebutkan peningkatan dalam bidang kemaritiman termasuk dalam
lima Repelita yang pernah dijalankan. Meskipun begitu pada masa Orde Baru
tercatat satu peristiwa penting dalam sejarah kemaritiman di Indonesia karena Deklarsai
Djuanda yang dicetuskan tahun 1957 kemudian dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III tahun 1982
dalam United Nations Convention On the
Law of The Sea (UNCLOS) yang
selanjutnya disahkan dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982. Sebelumnya Wilayah laut Indonesia berpatokan terhadap Ordonansi
Hindia-Belanda tahun 1939 yaitu Teritoriale
Zeeen en Maritiem Kringen Ordonantie 1939.
Kemaritiman
di Indonesia pada masa Reformasi hingga kini
Setelah masa Orde Baru berakhir dan Indonesia memasuki
masa Reformasi terjadi perubahan kembali dalam dunia kemaritiman di Indonesia.
Pada masa Orde Baru beberapa kementerian yang berhubungan dengan dunia
kemaritiman ditiadakan dan dilebur ke dalam departemen-departemen yang ada.
Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie belum terlihat perubahan secara
signifikan dalam dunia kemaritiman di Indonesia karena pemerintahan “pengganti”
ini hanya memerintah secara singkat. Perubahan mulai terlihat pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuklah Departemen Eksplorasi Laut
yang kemudian berganti nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan pada
Kabinet Persatuan Nasional dengan menterinya yaitu Sarwono Kusumaatmadja.
Presiden Abdurrahman Wahid menyadari betapa pentingnya dunia kemaritiman saat
itu hingga kemudian membentuk departemen baru yang berhubungan dengan kelautan.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarno Putri tidak banyak terjadi perubahan
dalam dunia kemaritiman di Indonesia karena posisi Presiden megawati saat itu
ialah sebagai pengganti Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Departemen kelautan dan perikanan tetap dipertahankan di dalam Kabinet
Indonesia Bersatu jilid I dan II. Pada akhir pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono disahkan pula Undang-Undang
No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Hal ini menjadi bukti bahwa pada masa
pemerintahan Presiden SBY masalah kelautan menjadi salah satu fokus yang
diperhatikan sehingga implementasi dari itu semua yaitu disahkannya
Undang-Undang tersebut oleh DPR. Pada masa pemerintahan Presiden SBY diadakan pula
suatu rangkaian acara berskala internasional yang berkaitan dengan kemaritiman.
Acara yang dimulai pertama kali pada tahun 2012 ini dinamakan Sail Morotai karena bertempat di pulau
Morotai, Maluku Utara yang diikuti oleh peserta dari berbagai macam Negara
dengan berbagai kegiatan yang dilakukan. Setelah Sail Morotai berturut-urut diadakan pula Sail Komodo, Sail
Raja Ampat dan kini pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2015
diselenggarakan pula Sail Tomini di Sulawesi Tengah.
Pada masa Presiden Joko Widodo semangat kemaritiman di
Indonesia kembali digelorakan dalam bentuk yang nyata salah satunya yaitu menjadikan
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Presiden Joko Widodo kemudian mewujudkan
tujuannya tersebut dalam lima pilar yaitu Pembangunan budaya maritim, Pengelolaan
sumber daya maritim, Pembangunan infrastruktur dan konekivitas maritim,
Diplomasi dan Pertahanan-keamanan maritim. Selain itu untuk menegaskan posisi
Indonesia sebagai poros maritim dunia maka Presiden Jokowi membentuk
Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman di dalam kabinetnya yaitu Kabinet
Kerja. Meskipun telah membentuk Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap dipertahankan dalam kabinet Presiden
Joko Widodo.
Upaya Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia memang terus ditingkatkan agar Negara ini kembali menjadi
Negara yang disegani sebagai Negara maritim. Tidak salah menjadikan Indonesia
sebagai poros maritim dunia karena wilayah Negara ini hampir 70% adalah lautan maka
tidaklah mengherankan pembenahan dan peningkatan dalam berbagai sektor kelautan
terus dilakukan guna menunjang tujuan ini. Namun keinginan ini bukanlah tanpa
tantangan, dalam mewujudkan tujuan Indonesia sebagai poros maritim dunia berbagai
tantangan masih harus dihadapi salah satunya pembangunan budaya maritim yang
masih rendah. Selama ini budaya maritim hanya dilakukan terbatas di di wilayah
pesisir pantai saja sedangkan wilayah di pedalaman yang jauh dari pantai belum
memahami apa itu budaya maritim. Inilah salah satu pekerjaan besar yang harus
dilakukan pemerintah untuk menanamkan budaya maritim di kalangan masyarakat
Indonesia. Masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah yaitu pembangunan
infrastruktur yang masih belum merata di berbagai daerah. Begitu pun dalam segi
pertahanan dan keamanan maritim, TNI Angkatan Laut sebagai garda terdepan dalam
mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia perlu memiliki armada
laut yang tangguh dan disegani selain tentunya masalah anggaran yang menjadi fokus
perhatian.
Namun yang terpenting dalam mewujudkan Indonesia sebagai
poros maritim dunia adalah dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia karena
tanpa adanya peran serta dari masyarakat mustahil tujuan ini dapat
direalisasikan. Peran serta masyarakat dalam suatu acara terlihat ketika
masyarakat antusias dan meberikan dukungan terhadap pelaksanaan acara tersebut.
Dalam pelaksanaan Sail Tomini tahun 2015 ini, masyarakat Parigi Moutong di
Sulawesi tengah menyambut baik dan antusias terhadap pelaksanaan acara. Pelaksanaan
Sail Tomini membawa dampak yang besar bagi masyarakat di wilayah tersebut,
salah satunya yaitu masyarakat dapat menikmati berbagai fasilitas yang dibangun
untuk menunjang kelancaran acara tersebut. Namun satu hal penting yang didapat
setelah pelaksanaan Sail Tomini adalah masyarakat di luar Sulawesi Tengah menjadi
tahu tentang potensi yang ada di wilayah Parigi Moutong khususnya dan Sulawesi
Tengah pada umumnya. Meskipun Sail Tomini bukan yang pertama dilaksanakan oleh
pemerintah, namun kebijakan pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia berdampak besar terhadap pelaksanaan acara tersebut dan hal ini
menjadi salah satu hasil “kecil” yang diterima oleh masyarakat di Sulawesi
Tengah dari upaya pemerintah tersebut.
Berkaca terhadap masa lalu bahwa apa yang telah dilakukan
oleh nenek moyang bangsa Indonesia ketika itu telah berhasil membuat bangsa ini
dikenal berkat kemahirannya dalam dunia kemaritiman, maka tidak ada alasan
untuk menjadikan Indonesia kembali dikenal seperti dahulu sebagai bangsa yang
disegani oleh dunia. Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan dalam mewujudkan
impian sebagai poros maritim dunia karena begitu lengkapnya sumber daya alam
dan sumber daya manusia yang dimiliki. Semoga visi menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia tidak hanya sekadar menjadi retorika belaka namun dapat
direalisasikan sesuai lima pilar yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh Presiden
Joko Widodo dan mimpi Indonesia kembali disegani seperti dahulu bisa menjadi
kenyataan, semoga.