Tangerang di Masa Awal Berdiri
Setiap daerah pasti memiliki
cerita sejarahnya tersendiri dan itu merupakan suatu keunikan yang tentunya
tidak akan ditemukan di tempat manapun. Sebagai sebuah daerah yang telah lama
berdiri, Tangerang tentunya memiliki sejarah panjang yang patut untuk digali
keberadaannya. Secara geografis, Tangerang terletak di sebelah barat Ibukota Jakarta
sehingga hubungan yang terjalin diantara keduanya sudah berlangsung sejak lama
bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Indonesia, bahkan Suku Betawi saat ini
banyak yang mendiami wilayah Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta.
Di bagian selatan berbatasan dengan Bogor yang dahulu merupakan bagian dari
Kerajaan Pajajaran sehingga secara
kultur masyarakat di Tangerang bagian selatan sehari-hari menggunakan Bahasa
Sunda. Kemudian di bagian baratnya berbatasan dengan wilayah Serang yang
menjadi pusat dari Kesultanan Banten sehingga di beberapa wilayah seperti
Kresek dan Kronjo, masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan
sehari-harinya sama seperti yang digunakan oleh masyarakat di pusat Kesultanan
Banten yang kini dikenal dengan nama Banten Lama. Bahkan di Kronjo terdapat
sebuah pulau yaitu Pulau Cangkir yang menjadi makam dari salah satu keturunan
Kesultanan Banten yang oleh masyarakat disebut sebagai makam Pangeran Penjaga
Lautan, makam tersebut oleh masyarakat dari berbagai macam daerah selalu
diziarahi. Di bagian utaranya berbatasan langsung dengan Laut Jawa sehingga di
masa lalu Tangerang dikenal pula sebagai kota perdagangan karena letaknya yang
berada di pesisir pantai, hal ini dibuktikan dari catatan perjalanan seorang
penjelajah Portugis yaitu Tome Pires
dalam bukunya Suma Oriental yang
menyebutkan kata “Tangaram” yang diartikan sebagai Tangerang.
Dalam berbagai sumber sejarah
yang ada, kata Tangerang berasal dari Tengger
dan Perang, kata Tengger diartikan sebagai tanda wilayah
sedangkan Perang merujuk kepada
wilayah Tangerang yang pernah menjadi medan pertempuran antara Kesultanan
Banten dan VOC. Tangerang disebutkan pula berasal dari kata Benteng yang konon
kabarnya didasarkan atas berdirinya sebuah banteng VOC yang berdiri di tepian
sungai Cisadane, yang lokasinya diperkirakan berada di Plaza Robinson sekarang.
Berdirinya Tangerang tidak dapat dipisahkan dari munculnya dibentuk oleh tiga
pimpinan saat itu yang berasal dari Sumedang, ketiganya yaitu Arya Yudhanegara,
Arya Wangsakara dan Arya Santika. Mereka mendirikan pusat pemerintahan
sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa,
diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga pimpinan tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya, ketiga pimpinan tersebut berjuang melawan VOC dengan
batas wilayah yaitu Sungai Cisadane, untuk mendukung perjuangan tersebut maka
dibuatlah peralatan persenjataan yang terletak di wilayah Cadas, Sepatan. Namun,
dalam pertempuran melawan VOC, ketiga pimpinan tersebut berturut-turut gugur
satu persatu. Arya Wangsakara selanjutnya dimakamkan wilayah Lengkong Kulon,
Pagedangan dan Arya Yudanegara dimakamkan di Sangiang serta Arya Santika
dimakamkan di Batuceper.
Tangerang di Masa kekuasaan VOC dan Belanda
Pasca dikuasainya Kesultanan
Banten oleh VOC, Tangerang yang terletak di sebelah timur Kesultanan Banten
juga ikut dikuasai oleh VOC. Sejak tahun 1682 pemerintahan di Tangerang
berbentuk Regentschap yang dipimpin
oleh seorang Bupati dari kalangan pribumi. Pada masa VOC ini teradapat beberapa
nama kampung yang sudah teridentifikasi diantaranya ialah Batoechepper
(Batuceper) yang terletak di sebelah timur Tangerang dimana wilayah ini dalam
perkembangan selanjutnya pernah menjadi tanah partikulir milik Tan Liok Tiauw Sia,
seorang Landheer van Batoe Tjepper dan
juga seorang pengusaha genteng, itulah sebabnya di wilayah Batuceper dan
sekitarnya hingga saat ini terdapat nama daerah dan jalan dari kata “Lio” yang
berarti tempat pembakaran genteng.
Dalam perkembangan selanjutnya
pasca runtuhnya VOC, Tangerang dikuasai langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
yang berpusat di Batavia. Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels mengubah sistem pemerintahan di Hindia Belanda, wilayah Tangerang saat
itu secara administratif berada dalam pemerintahan de stad Batavia de Ommelanden en Jacatrasche Preanger Regentschappen
atau Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta Priangan yang
selanjutnya disebut Keresidenan Batavia. Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah
pimpinan seorang Asisten Residen yang berasal dari orang Eropa.
Pada tahun 1860-an Pemerintah
Hindia Belanda memperkenalkan sebutan Afdeling untuk wilayah
administratif di bawah keresidenan. Dalam hal ini, Tangerang menjadi salah satu
afdeling di wilayah Keresidenan Jakarta. Hal itu berarti kota Tangerang
memiliki kedudukan administratif rangkap, yaitu sebagai ibukota afdeling dan
merangkap sebagai ibukota distrik. Di Keresidenan Batavia sendiri terdapat
empat afdeling, yaitu Afdeling Kota dan Sekitarnya yang memiliki tujuh, Afdeling
Meester Cornelis (Jatinegara) yang memiliki empat distrik, Afdeling Tangerang
yang memiliki tiga distrik, dan Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang memiliki enam
distrik.
Wilayah Afdeling Tangerang terdiri
dari tiga distrik yaitu Distrik Tangerang Timur yang meliputi 208 desa, Distrik
Tangerang Selatan yang meliputi 199 desa, dan Distrik Tangerang Utara yang
meliputi 133 desa. Data statistik tahun 1867 menyatakan Afdeling Tangerang
memiliki luas wilayah lebih-kurang seperlima dari luas wilayah Keresidenan
Batavia. Sejak tahun 1880-an masing-masing distrik tersebut disebut
Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk selanjutnya terdapat
penambahan distrik yaitu Distrik Curug. Kepala distrik
dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut Demang yang selanjutnya berubah
menjadi Wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan tersebut berlangsung hingga
akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1942.
Pada era pemerintahan Hindia
Belanda terdapat pula nama kampong yang tercatat diantaranya: Kresek (kpg.),
Teloeknaga (o.d.), Mawoek dan nama kampong lainnya adalah Krawatji. Selain itu
menurut Dr. Hollander dalam bukunya disebutkan mengenai Afdeling Tangerang Afdeeling
Tangërang : Tangërang, de hoofdplaats der Afd. Aan den Grooten
weg en de rivier Tji-Dani yang jika diartikan ialah Afdeling Tangerang merupakan
ibukota afdeling yang terletak di Jalan Besar (Jalan Raya Pos) dan juga Sungai
Cisadane.
Tangerang pada masa Pendudukan Jepang
Pasca menyerahnya Belanda kepada
Jepang yang menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang telah
berlangsung ratusan tahun lamanya maka dibentuklah struktur pemerintahan yang
berbeda pada masa Hindia-Belanda. Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa, yang
kemudian diangkat sebagai Gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus
1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan Gunseibu.
Disusul pemindahan kedudukan
Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi dengan
pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Seiring
dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka
daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Di wilayah Pulau Jawa
pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang
dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan
pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer.
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco (bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco (kepala desa).
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco (bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco (kepala desa).
Pada akhir 1943, jumlah kabupaten
di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini
disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan
menjadi kabupaten. Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,
kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas. Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka dipermakloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.
kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas. Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka dipermakloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.
Pembentukan Kabupaten Tangerang
didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943),
sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan
dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama R. Atik
Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah
seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat
Sunda, Ia juga pernah menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa
Barat R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.
No comments:
Post a Comment