Sunday, April 7, 2019

Sejarah Tangerang dari Masa ke Masa


Tangerang di Masa Awal Berdiri
Setiap daerah pasti memiliki cerita sejarahnya tersendiri dan itu merupakan suatu keunikan yang tentunya tidak akan ditemukan di tempat manapun. Sebagai sebuah daerah yang telah lama berdiri, Tangerang tentunya memiliki sejarah panjang yang patut untuk digali keberadaannya. Secara geografis, Tangerang terletak di sebelah barat Ibukota Jakarta sehingga hubungan yang terjalin diantara keduanya sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Indonesia, bahkan Suku Betawi saat ini banyak yang mendiami wilayah Tangerang yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Di bagian selatan berbatasan dengan Bogor yang dahulu merupakan bagian dari Kerajaan  Pajajaran sehingga secara kultur masyarakat di Tangerang bagian selatan sehari-hari menggunakan Bahasa Sunda. Kemudian di bagian baratnya berbatasan dengan wilayah Serang yang menjadi pusat dari Kesultanan Banten sehingga di beberapa wilayah seperti Kresek dan Kronjo, masyarakatnya menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-harinya sama seperti yang digunakan oleh masyarakat di pusat Kesultanan Banten yang kini dikenal dengan nama Banten Lama. Bahkan di Kronjo terdapat sebuah pulau yaitu Pulau Cangkir yang menjadi makam dari salah satu keturunan Kesultanan Banten yang oleh masyarakat disebut sebagai makam Pangeran Penjaga Lautan, makam tersebut oleh masyarakat dari berbagai macam daerah selalu diziarahi. Di bagian utaranya berbatasan langsung dengan Laut Jawa sehingga di masa lalu Tangerang dikenal pula sebagai kota perdagangan karena letaknya yang berada di pesisir pantai, hal ini dibuktikan dari catatan perjalanan seorang penjelajah Portugis yaitu Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental yang menyebutkan kata “Tangaram” yang diartikan sebagai Tangerang.
Dalam berbagai sumber sejarah yang ada, kata Tangerang berasal dari Tengger dan Perang, kata Tengger diartikan sebagai tanda wilayah sedangkan Perang merujuk kepada wilayah Tangerang yang pernah menjadi medan pertempuran antara Kesultanan Banten dan VOC. Tangerang disebutkan pula berasal dari kata Benteng yang konon kabarnya didasarkan atas berdirinya sebuah banteng VOC yang berdiri di tepian sungai Cisadane, yang lokasinya diperkirakan berada di Plaza Robinson sekarang. Berdirinya Tangerang tidak dapat dipisahkan dari munculnya dibentuk oleh tiga pimpinan saat itu yang berasal dari Sumedang, ketiganya yaitu Arya Yudhanegara, Arya Wangsakara dan Arya Santika. Mereka mendirikan pusat pemerintahan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Sebutan Tigaraksa, diambil dari sebutan kehormatan kepada tiga pimpinan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, ketiga pimpinan tersebut berjuang melawan VOC dengan batas wilayah yaitu Sungai Cisadane, untuk mendukung perjuangan tersebut maka dibuatlah peralatan persenjataan yang terletak di wilayah Cadas, Sepatan. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga pimpinan tersebut berturut-turut gugur satu persatu. Arya Wangsakara selanjutnya dimakamkan wilayah Lengkong Kulon, Pagedangan dan Arya Yudanegara dimakamkan di Sangiang serta Arya Santika dimakamkan di Batuceper.

Tangerang di Masa kekuasaan VOC dan Belanda
Pasca dikuasainya Kesultanan Banten oleh VOC, Tangerang yang terletak di sebelah timur Kesultanan Banten juga ikut dikuasai oleh VOC. Sejak tahun 1682 pemerintahan di Tangerang berbentuk Regentschap yang dipimpin oleh seorang Bupati dari kalangan pribumi. Pada masa VOC ini teradapat beberapa nama kampung yang sudah teridentifikasi diantaranya  ialah Batoechepper (Batuceper) yang terletak di sebelah timur Tangerang dimana wilayah ini dalam perkembangan selanjutnya pernah menjadi tanah partikulir milik Tan Liok Tiauw Sia, seorang Landheer van Batoe Tjepper dan juga seorang pengusaha genteng, itulah sebabnya di wilayah Batuceper dan sekitarnya hingga saat ini terdapat nama daerah dan jalan dari kata “Lio” yang berarti tempat pembakaran genteng.
Dalam perkembangan selanjutnya pasca runtuhnya VOC, Tangerang dikuasai langsung oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang berpusat di Batavia. Pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengubah sistem pemerintahan di Hindia Belanda, wilayah Tangerang saat itu secara administratif berada dalam pemerintahan de stad Batavia de Ommelanden en Jacatrasche Preanger Regentschappen atau Kota Batavia dan sekitarnya serta wilayah Jakarta Priangan yang selanjutnya disebut Keresidenan Batavia. Daerah Tangerang disebut Batavia Barat dan berada di bawah pimpinan seorang Asisten Residen yang berasal dari orang Eropa.
Pada tahun 1860-an Pemerintah Hindia Belanda memperke­nalkan sebutan Afdeling untuk wilayah administratif di bawah keresidenan. Dalam hal ini, Tangerang menjadi salah satu af­deling di wilayah Keresidenan Jakarta. Hal itu berarti kota Tangerang memiliki kedudukan administratif rangkap, yaitu sebagai ibukota afdeling dan merangkap sebagai ibukota distrik. Di Keresidenan Batavia sendiri terdapat empat afdeling, yaitu Afdeling Kota dan Sekitarnya yang memiliki tujuh, Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara) yang memiliki empat distrik, Afdeling Tangerang yang memiliki tiga distrik, dan Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang memiliki enam distrik.
Wilayah Afdeling Tangerang terdiri dari tiga distrik yaitu Distrik Tangerang Timur yang meliputi 208 desa, Distrik Tangerang Selatan yang meliputi 199 desa, dan Distrik Tangerang Utara yang meliputi 133 desa. Data statistik tahun 1867 menyatakan Afdeling Tangerang memiliki luas wilayah lebih-kurang seperlima dari luas wilayah Keresidenan Batavia. Sejak tahun 1880-an masing-masing distrik tersebut disebut Distrik Tangerang, Distrik Balaraja, dan Distrik Mauk selanjutnya terdapat penambahan distrik yaitu Distrik Curug. Kepala distrik dipegang oleh orang pribumi yang jabatannya disebut Demang yang selanjutnya berubah menjadi Wedana. Tingkat dan struktur pemerintahan tersebut berlangsung hingga akhir kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1942.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula nama kampong yang tercatat diantaranya: Kresek (kpg.), Teloeknaga (o.d.), Mawoek dan nama kampong lainnya adalah Krawatji. Selain itu menurut Dr. Hollander dalam bukunya disebutkan mengenai Afdeling Tangerang Afdeeling TangĂ«rang : TangĂ«rang, de hoofdplaats der Afd. Aan den Grooten weg en de rivier Tji-Dani yang jika diartikan ialah Afdeling Tangerang merupakan ibukota afdeling yang terletak di Jalan Besar (Jalan Raya Pos) dan juga Sungai Cisadane. 

Tangerang pada masa Pendudukan Jepang
Pasca menyerahnya Belanda kepada Jepang yang menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya maka dibentuklah struktur pemerintahan yang berbeda pada masa Hindia-Belanda. Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk mem­bentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai Gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan Gunseibu.
Disusul pemindahan kedudukan Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa Madoera. Seiring dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer.
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Ma­dura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan pusat) yang membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala daerah istimewa). Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco (bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco (kepala desa).
Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,
kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas. Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka diper­makloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.
Pembentukan Kabupaten Tangerang didasarkan Maklumat Jakarta Syu Nomor 4 tanggal 27 Desember 2603 (1943), sedangkan peresmiannya dilakukan pada hari Selasa, 4 Januari 1944, bersamaan dengan pelantikan R. Atik Suardi menjadi Bupati Tangerang pertama R. Atik Suardi adalah aktivis yang kemudian (sejak akhir tahun 1920-an) jadi salah seorang pemimpin Paguyuban Pasundan, organisasi pergerakan nasional masyarakat Sunda, Ia juga pernah menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat R. Pandu Suradiningrat di Gunseibu Jawa Barat.


No comments:

Post a Comment

Para Perwira alumni Akmil & Akpol yang gugur di Poso

Wilayah Poso hingga saat ini masih menjadi daerah operasi yang dilakukan oleh Pasukan TNI/POLRI dalam mengejar sisa pengikut dari gerakan M...